Header Ads

Header ADS

Kembali Bersama Mimpi

 

Foto: brilio.net

By. Putri Aulia Tsabitah

Rinai hujan mengalir dibalik jendela, sembari duduk ditemani secangkir teh panas, mataku menatap nanar jarak yang  entah seberapa jauh, aku pun tidak tahu, sejenak aku berpikir, mengapa orang orang begitu sengsara hanya karena beberapa hari tidak menatap wajah kekasihnya, kadang lucu saja menangis karena hal yang menurutku tidak begitu penting, jika hanya 1 atau 2 hari orang pusing menunggu kabar sang pujaan hati, bagaimana dengan diriku yang sudah bebrapa tahun belakangan, mungkin 4 tahun, tak pernah melihat wajahnya, untuk chattan pun aku tak ingat kapan terakhir kali jariku dengan ria menari diatas keyboard, tersenyum melihat layar mungil handphone ku dan kadang menanti notif darinya, mungkin orang hanya dapat mendengar tetapi tak dapat merasakan rindu sepihak, yang entah tentang “dia” aku pun tak begitu yakin.

Ini cerita tentangku

Aku yang menapaki masa lalu, mencoba mencari rasa yang terserak untuk menetapkan hati

Aku yang berjalan mengitari hatinya, mencoba mencari getaran itu kembali

Ketika semua terasa hampa, apakah kau masih mau berdiri disana....

Untuk menunggu.

Semburat oranye baru saja mewarnai langit. Gerak angin berembus semilir. Sinar matahari baru menampakan seperempat biasnya, embun menggantung dipucuk dedaunan, segala yang menjanjikan kedamaian.

Yang seharusnya dapat membantuku me-refresh kan otak, termasuk pikiranku yang membayangkan tentang dia, entah mengapa merujuk pada sewujud nama, nama yang nyatanya belum juga dapat disingkirkan seutuhnya dari ruang hati yang terdalam. Dan mari kita bertaruh, suara itu muncul diotakku. Apa yang akan terjadi pada cinta kali ini? Aku hanya bisa menutup mata.

Ddrttt...drttt..suara handphone membuyarkan lamunan ku, terpajang nama chaca di layar, ia mengingatkan ku untuk berangkat bersamanya ke kampus.

Nama ku ansya aliffiyah putri, mahasiswi semester 2 di salah satu kampus dikota jawa, disini aku merantau untuk melanjutkan studi, namun ada sebuah dorongan besar dihati ku untuk menetap disini.

“an, kemana saja tadi aku cari tidak ada rupanya lagi santai disini.” Ucap chaca sembari duduk dikursi kantin.

“oh,  aku tadi lapar habis menunggu kamu selesai mata kuliah lamaa.” Sahutku sambil menyeruput es jeruk

“eh nih...aku ada novel, lumayan ceritanya bikin baper, coba lihat.”

“aku pinjam ya cha, minggu depan aku kembalikan oke hahaha.”ucapku.

“iyaa aku pinjamkan, untung aku ini orang baik.” Ujar nya sembari menujukan novelnya pada ku.

9.30 diriku masih berkutat bersama tugas, sembari ditemani teh hangat, tak sengaja aku melihat novel chaca di dalam tas ku. Ku lirik judul novel, ada dorongan yang membuatku lebih memilih membaca sekilas novel tersebut, aku tak tahu mengapa cerita dalam novel itu mengingatkan ku pada sosok lama yang pernah membuatku memahami arti cinta pertama, kata orang cinta pertama adalah rasa kagum saat kau melihat seseorang dalam 1 kali pandangan, tetapi menurutku cinta pertama adalah bagaimana kau bisa merasa nyaman dengan seseorang tanpa harus malu menunjukan kekuranganmu dan aku merasakan itu bersama “dia”. Cerita itu bermula dari sini hingga sampai saat ini.

empat tahun yang lalu, saat mos masuk SMA            ,

“ hey cepat jalan lama sekali, sudah tahu terlambat!”teriak salah seorang senior osis yang tengah menghukum siswa baru digerbang.

aduh bagaimana ini, gerbang mau tutup sedangkan senior lagi marah juga.” Ucapku dalam batin

Dalam kebimbangan ku, tiba tiba sebuah tangan menarik ku, ia menyuruhku diam dan aku menyadari bahwa ia menolongku dengan melewati jalan belakang sekolah, aku dan entah siapa dia menyusuri jalan itu, aku tak tahu persis wajahnya tapi yang pasti ia mengenakan jaket hitam, belum sempat aku berterima kasih, ia sudah hilang.

“hey, kamu! Cepat jongkok, lambat sekali”ujar seniorku

Selama mos banyak sekali pengalaman yang ku dapat dan yang pasti hukuman dari para senior harus diterima. Tetapi semenjak itu aku tahu siapa dia, arsyaf devano, cowok yang menolongku pagi tadi, penampilannya yang terkesan cuek, dingin sangat melekat pada dirinya, tapi semua itu tak menghalangi satu hal yang tampak paling menarik dari cowok itu, sepasang mata yang didominasi oleh bola iris hitam yang tampak begitu pekat, juga dalam, seakan akan menebar daya magnet yang menghipnotis jika kau menatapnya sedikit lama.

Baca Juga: Antara Asa dan Aku

Waktu pun berputar, aku sudah resmi menjadi siswa disalah satu sma favorit kota ku, hari ini aku harus menyelasaikan tugas ku diruang lab kimia pulang sekolah,  yang harus kukerjakan.

“tolong ambilkan kertas izin lab disamping mu.” Ucap seseorang, aku tertegun, sejak kapan dia disini, dan lagi lagi matanya mampu membuatku diam sejenak.

“kamu, tolong..” belum sempat ia mengulang, aku dengan segera memberi kertas izin padanya, tiba tiba ia berhenti dan berbalik, “siapa namamu?”

Lagi lagi, aku sedikit terkejut, jadi dia belum tahu namaku atau sekadar basa basi? Apapun itu, lidah ku spontan menjawab. “ansya, ansya aliffiyah putri.”

“nama yang bagus”

Meski samar, aku yakin telinga ku masih menangkap jelas gumaman cowok itu saat ia memutarkan tubuhnya kembali, melanjutkan perjalanan.

Siapa yang tak merasa senang saat mendengarnya dan hal itu entah mengapa terasa aneh pada hati.

Dan itu adalah awal. Untuk sebuah proses tak terduga yang kami alami selanjutnya. Entah kapan tepatnya, dan entah bagaimana pula metamorfosanya, aku sendiri gagal mengingatnya, semuanya terjadinya begitu saja, aku dan arsyaf lebih sering bertegur sapa, kekantin bersama, atau bercerita tentang guru yang galak, teman, ataupun urusan hati.

Bahkan banyak yang mengira bahwa kami berpacaran, setiap aku bertanya tentang status ku dengan dia, ia berkata “sebutan itu tidak penting an, melainkan bagaimana kita merasakan dan menjalaninya, toh orang juga tidak merasakan, perasaan yang kita miliki.” Kata kata itu  sulit untuk ku cerna karena antara kami tidak memiliki titik temu.

“kak, bagaimana kalau suatu hari nanti kita tidak bisa bermain lagi?’’ujarku

“ karena apa?”

“jarak mungkin..”

“orang yang pergi belum tentu ia menghilang ia masih bertahan jika yang menunggunya juga bersabar.” Ujar arsyaf kemudian memesan makanan.

Mungkin kah yang dirasakan ku sekarang adalah sebuah persahabatan belaka, karena tak salah juga. Toh aku dan dia tidak pernah saling cemburu, tidak pula mengekang kebebasan satu sama lain. Aku juga tak perlu repot menelponnya setiap hari hanya untuk menanyakan lagi dimana atau dia dengan siapa.

Sampai akhirnya, masa perpisahan itu datang juga, tepat pada hari wisuda, ditengah riuh haru bahagia dipelataran gedung, saat orang lain mengabadikan momen, aku datang melihat arsyaf, ia tampak lebih hangat mengenakan jas yang senada dengan celana nya, rambutnya terpangkas rapi, ingin melihatnya lebih lama lagi.

“selamat ya, semoga diterima di universitas pilihan mu.” Hanya itu yang dapat aku ucapkan padanya.

Bibir arsyaf mengucapkan terima kasih, tidak ada versi yang lebih hangat.

“kenalkan pa, ma, adik tingkat ku, ansya, dia ini meski kurus, tapi makan nya banyak hahaha.”

Aku hanya tersenyum tak berminat menanggapi lelucon arsyaf, dan orang tuanya pun hanya mengomentari seperlunya saja.

Kemudian ia menarik tangan ku persis seperti setahun silam saat ia menarik ku hanya untuk menolongku dari amarah para senior dulu, namun ini berbeda ia menarik ku tempat yang lebih sepi dari keramaian lalu menuju ke parkiran dan mengeluarkan sesuatu dari mobil,  ia mengajak ku duduk dikursi sejenak.

 “aku punya sesuatu buat kamu” ucap arsyaf sembari memberikan kotak berwarna roses yang terhias pita merah

“oh ya? Apa?”

“bukanya nanti saja ya,  jangan di sini” ucap  arsyaf saat aku membolak balik kan kotak itu dengan raut wajah bingung

Aku hanya tersenyum mengelus kotak yang ku pegang dijemari ku, berpikir tentang sebuah rasa, apa yang aku rasakan sekarang?

Tak ada jawaban yang singgah untuk memuaskan rasa penasaranku, hingga petemuan ku dan arsyaf berakhir disiang itu, tanpa ada salam perpisahan, juga tanpa air mata dan rasa terluka. Jika ada satu satunya yang tersisa setelah hari itu adalah kerinduan.

Aku tak tahu apakah arsyaf juga menyimpan rindu yang sama untukku. Aku tak pernah lagi berusaha menghubungi arsyaf sejak hari itu, begitu pun sebaliknya. Seolah olah menganggap bahwa itu adalah yang terbaik, dan tak ada sesuatu dari masa lalu yang butuh diperjelaskan.

Terkadang, rasa yang ada memang sulit untuk diraba dan diterka, kemana arahnya akan menuju, pun tak mudah terbaca begitu saja, aku tetap menyimpan rasa untuknya di hati yang paling dalam.

Cahaya mentari membangunkan ku, ternyata aku cukup lama mengenang kisah lalu ku bersama dia, aku pun bergegas bersiap untuk kuliah seperti biasa, dengan terburu buru aku bergegas memasuki mata kuliah ku.

Aku pun berpikir untuk apa aku mengingat dia kembali, itu sudah lama tetapi mengapa hati ku masih terpaut pada kepingan kenangan aku dan arsyaf.

“ansya, mau ikut kita backpacker-an ke gunung anak krakatau tidak?”tanya teman sekelasku

“iya, an, aku juga ikut, ayo ikut yah, seru, kapan lagi coba.”sahut chaca merayu ku agar ikut bersama mereka.

Aku pun menyetujui ajakan mereka toh bentar lagi liburan tahun baru pikirku.

Seminggu kemudian, senja luruh sempurna, digantikan oleh kegelapan yang kian lama kian pekat meronai langit, aku memeriksa sekali lagi isi tas ku, memastikan tidak ada peralatan yang tertinggal.

“sudah siap?”

Aku menoleh chaca yang telah rapi dengan t-shirt casualnya berlapis jaket. Aku meraih syal berwarna merah hati, melilitkannya di leher.

Minibus yang bergerak dari agen travel tepat saat arloji ku menunjukan pukul sembilan malam, aku menyandarkan tubuh di jok kursi paling belakang.

Aku memejamkan mata. Persis ketika chaca melepaskan headset dari telinganya, mungkin saja wanita itu berniat untuk memulai sebuah percakapan, namun aku sedang tidak ingin terlibat komunikasi dengan siapa pun, Satu-satunya keinginanku kini hanyalah untuk sejenak mengosongkan pikiran, mensterilkan perasaan.

“Bangun, bangun!”

Aku mendengar suara itu dari jarak beberapa meter. Minibus dalam posisi diam, juga tak terdengar bunyi deru mesin. Pertanda sang sopir memang telah menghentikan kendaraan berkapasitas lebih kurang dua puluh orang ini. Aku menoleh ke arah luar jendela, situasi khas pelabuhan merak menyambut kami. kapal itu telah merapat di dermaga, seorang lelaki yang berdiri tegak di haluan dengan sigap melempar jangkar, para anggota rombongan telah bersiap siap, berdiri pada barisan di tepian dermaga, tiba giliran ku, aku harus melebarkan langkah kakiku karena pada saat bersamaan air laut dibawah kapal tiba tiba berombak, dan cukup membuat lantai kapal menjadi labil,

seseorang mengulurkan sebelah tangan kanannya untuk menolongku, seiring aku mendongak ke atas, mata ku terkesiap. Arsyaf menarikku, dan pada situasi ini, untuk menghindar adalah kemungkinan tersulit untuk dilakukan. Sosok yang kini langsung mengambil posisi duduk pada kursi disebelahku.

“sengaja disisakan kosong?” ia terkekeh. Suara tawa yang dulu begitu akrab

Terdengar bunyi mesin menderu pelan.

“rasanya seperti mimpi.”gumam ku mengalihkan pandangannya.

“tapi yang jelas bukan mimpi? Yang membawamu untuk melakukan perjalanan ini dan mempertemukan kita lagi?” aku meliriknya, lesung pipit itu menyembul lagi saat asryaf tersenyum. Dan ku rasa ini bukan mimpi tapi impian.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.