Header Ads

Header ADS

Cerpen: Aku Ingin Menjadi Seorang Penyair

Gambar oleh brigachtal dari Pixabay

Oleh: M. Syifak Alfajar

Langit-langit senja menghiasi waktu petang yang memamerkan kecantikannya, burung-burung pun tengah terbang untuk kembali ke sangkar asalnya sebagai pertanda bahwa  malam akan segera datang.    Oh iya..., namaku adalah Usra Achraf, orang-orang biasa memanggilku Usra. Saat ini, aku tengah mengenyam pendidikan di MAN 1 (Model) Lubuklinggau yang sangat bagus dan berkualitas. Aku sangat menyukai pelajaran “bahasa Indonesia”, karena aku sangat ingin menjadi seorang penyair yang dikenal oleh dunia dan dapat mengharumkan nama Indonesia. Di sekolah aku hanya memiliki seorang teman, dia bernama Amir At-Tamimi yang biasa dipanggil Tamim.  Dia adalah teman yang telah aku anggap sebagai saudara begitu pula sebaliknya, Dia juga menganggapku sebagai saudaranya. Semua hal telah aku ceritakan kepadanya, bahkan banyak hal yang tidak aku ceritakan kepada orang tuaku aku ceritakan kepada Tamim.

Malam yang indah pun tiba, waktunya aku menikmati terangnya bulan purnama diantara bintang-bintang yang bertebaran. Menikmati suasana malam yang indah telah menjadi hal yang biasa bagiku, ditambah lagi apabila malam itu dihadiri bulan purnama dan ditemani bintang-bintang yang tak kalah indahnya. Setiap bulan yang muncul di malam hari, aku selalu menamainya Mayyal. Bukan tanpa sebab aku member nama bulan itu Mayyal, karena aku telah menganggapnya sebagai temanku di malam hari. Tepat pada pukul 22.00 aku masuk ke kamar untuk tidur sebagai pengakhir dari kenikmatan indahnya malam.

Sinar matahari berwarna keemasan telah menerangi pagi, suara-suara bising dari berbagai macam kendaraan mulai terdengar. Waktu telah menunjukkan pukul 06.30.saatnya aku berangkat sekolah dengan menaiki sepeda. 15 menit perjalanan telah aku lalui, akhirnya aku tiba di sekolah dan segera masuk ke dalam kelas. Saat ingin masuk ke dalam kelas ternyata Tamim telah sampai terlebih dahulu, Tamim pun menyambut kedatanganku dengan hangat. Jam 07.30 mulailah pelajaran, ibu guru yang mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia sudah masuk ke dalam kelasku dan membagikan ilmunya. 

Di akhir pelajaran, ibu bertanya sambil menggandeng tasnya, “Anak-anak sekalian, adakah diantara kalian yang ingin mewakilkan sekolah kita di perlombaan menulis puisi pada lusa nanti ?”.

“Saya buu !!!” jawab aku dengan keras. 

“Oke, baiklah Usra kamu yang akan mewakilkan sekolah kita di perlombaan itu” kata ibu guru dengan  bahagia. 

“Baik bu, aku akan berusaha dengan sebaik mungkin” kata aku dengan penuh semangat.

Setelah melewati beberapa pelajaran, waktu istirahat pun tiba. Seperti biasa, aku selalu bermain dan bercerita kepada Tamim. Tamim bertanya kepadaku. “Ehh Us, kamu beneran mau mewakilkan sekolah kita di perlombaan itu ?”.

“Ya iyalah Mim, aku kan sangat suka menulis puisi karena aku ingin menjadi penyair nantinya yang akan membanggakan nama sekolah dan mengharumkan nama Indonesia di mata dunia” jawab aku dengan penuh semangat. 

Setelah beberapa waktu, bel pun berbunyi sebagai pertanda untuk kembali masuk ke dalam kelas dan melanjutkan beberapa pelajaran yang tersisa.

Akhirnya seluruh pelajaran telah selesai hari ini semua siswa juga telah beranjak pulang ke rumahnya masing_masing, begitu juga dengan aku dan Tamim.

Sesampainya di rumah, aku berbicara kepada Ayah, “Ayah, lusa nanti aku akan mengikuti perlombaan menulis  puisi” ujarku dengan penuh kebahagiaan.

Ayah pun menjawab dengan penuh kemarahan “Apa, menulis puisi ??!! Puisi hanyalah untuk orang-orang berjiwa lemah, Ayah ingin kamu mempunyai jiwa yang kuat agar bisa menjadi seorang Jendral yang perkasa.”

“Tapi Ayah…” kata aku dengan sedih.

“Sudahhh, masuklah ke kamarmu dan ganti bajumu!.” kata ayah sambil mencela perkataanku.

“Tapi Ayah…, Aku ingin menjadi penyair” ucap aku dengan sedih.

“Sudahlahh, cepat masuk ke kamarmu atau ayah akan menghukummu” jawab ayah dengan nada tinggi.

“Baik ayah” jawab aku dengan nada yang sedih.

Aku pun berlari ke kamarku sambil menangis sedih, di dalam kamar aku sedang berusaha membendung tangisan air mataku. Namun itu percumah saja. hatiku sangat terpukul dan aku tak sanggup untuk menahan tangisanku, impianku untuk menjadi seorang penyair pupus seketika.

Jam telah menunjukkan pukul 18.30, aku yang menangis di kamar ingin merencanakan untuk kabur dari rumah. Kemudian pada pukul 19.00 aku menyelinap keluar dari rumah yang kebetulan saat itu ayahku sedang tertidur pulas-pulasnya. Aku pergi dari rumah menggunakan sepedaku, Aku kayuh sepedaku sekuat tenagaku sambil menangis dan tak kuasa membendung air mata. Aku berusaha untuk pergi jauh dari rumah, namun pada saat di tengah perjalananku, aku berkata pada diriku sendiri “Bila aku pergi dari rumah malam ini, aku akan tidur dimana” tanyaku kebingungan sambil mengayuh sepedaku. Aku pun teringat Tamim, “Oh iya Tamim… dia adalah sahabatku. Aku yakin dia akan menemaniku dan memberiku tumpangan untuk tidur” ucapku dalam hati. aku pun langsung bergegas secepat mungkin untuk menuju ke rumah Tamim. Selang beberapa waktu aku pun sampai ke rumah Tamim.

“Assalamu’alaikum warahmatullah” ucapku sambil mengetuk pintu. 

Aku pun mengulanginya lagi “Assalamu’alaikum warahmatullah”.

Aku pun mengulanginya hingga yang ketiga kali “Assalamu’alaikum warahmatullah”.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah, siapa di luar sana ?” tanya Tamim.

“Ini aku Mim temanmu Usra” jawabku.

“Oh Usra, silahkan masuk Us” kata Tamim.

“Baiklah Mim” ucap aku.

Aku pun masuk ke dalam rumah Tamim,

 Tamim bertanya “Ada apa Us datang ke sini malam-malam ?”.

“Aku kabur dari rumahku Mim” jawabku.

“Emangnya ada masalah apa Us sampai kamu kabur dari rumahmu ?” tanya Tamim.

Aku pun menjelaskan masalahku panjang lebar hingga selesai.

“Ohh jadi seperti itu Us, ya sudah sekarang kamu menginap saja di rumahku” ucap Tamim. “Terimakasih ya Mim, kamu memang teman terbaikku” jawab Aku.

“Ya sudah, sekarang kita tidur dulu oke…” kata Tamim.

“Oke Mim” jawab aku.

Malam pun telah menunjukkan keanggunannya, Tamim pun tertidur dengan lelap sedangkan Aku naik ke atas rumahnya Tamim untuk melihat keanggunan malam yang dihiasi bulan dan bintang-bintang.

Saat di atas, aku berteriak dengan kesedihan kepada Mayyal, dia adalah sang rembulan “Mayyal, apa yang harus aku perbuat aku tak bisa menahan ini semua” 

Tamim yang tengah tidur pun terbangun dan mendatangiku untuk memberi nasihat “Sudahlah Us, lebih baik kamu bicarakan lagi dengan ayahmu baik-baik aku yakin ayahmu akan mendukungmu” 

“Tapi Mim…” jawab aku

“Sudahlah Us, aku yakin kepadamu dan ayahmu” kata Tamim.

“Baiklah Mim, kalau begitu aku akan membicarakannya dengan ayahku sekali lagi. Besok pagi aku akan pulang ke rumah” jawab aku.

“Bagus Us, lebih baik kita tidur sekarang” ucap Tamim dengan rasa kantuk.

Kami berdua pun masuk ke kamar dan segera tidur.

Matahari pun mulai menampakkan keindahannya, warna kuning keemasan menghiasi langit pagi yang menyegarkan. Aku pun berpamitan kepada Tamim untuk kembali ke rumahku. Aku kayuh sepedaku dengan cepat agar bisa segera sampai ke rumah. Sesampainya di rumah aku segera masuk dan memeluk ayah, aku juga menjelaskan semua perihal masalah kemarin.

“Ayah, Aku ingin minta maaf yah” ucap aku.

“Kamu tidak perlu meminta maaf nak ini salah ayah, ayah sangat memasksakan kehendak ayah tanpa memikirkan perasaanmu. Kamu boleh menjadi apa yang kamu mau dan ayah akan selalu mendukungnya” ucap ayah.

“Wahh terimakasih Ayah, Usra sayang Ayah” jawabku dengan gembira.

“Iya nak sama-sama, oh iya besok kamu akan berlomba menulis puisi kan?,  ayo kita merangkai kata bersama, ayah akan membantumu” ucap ayah.

Kami berdua pun menulis puisi bersama-sama.

Hari perlombaan pun tiba, aku pun berhasil memenangi lomba tersebut.

“Selamat nak, ayah bangga kepadamu” ucap ayah dengan gembira.

“Terimakasih ayah, Usra bangga punya ayah yang bijaksana” jawabku dengan tangisan kegembiraan.

“Selamat ya Us, kamu memang sangat berbakat menjadi penyair” ujar Tamim.

“Terimakasih Mim, kamu memang sahabat baikku. Aku akan terus berusaha dan berkarya agar impianku tercapai” jawab aku dengan tangis kegembiraan.

Sejak saat itulah, aku semakin giat menulis puisi dan mengikuti perlombaan untuk menggapai impianku menjadi seorang penyair yang bisa mengharumkan nama bangsa Indonesia di mata dunia. Dan membanggakan orang-orang yang aku sayangi, terutama kedua orang tuaku, Tamim, ibu dan bapak guru, serta orang-orang yang telah mendukungku. Aku juga tidak lupa senantiasa terus bersyukur dan berdo’a kepada Allah, karena tanpaNya diriku bukanlah apa-apa. Aku akan terus menerus berkarya hingga yang tersisa pada diriku hanyalah tulang belulang dan karya-karyaku yang akan tetap abadi bak Chairil Anwar dalam karyanya.


TAMAT

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.